
Pangkep, 2 Juni 2009, Losari News Network -- Terkait kasus dugaan Penggelembungan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2009 oleh Anggota KPU Pangkep di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, Pengadilan Negeri Pangkep akhirnya memvonis anggota KPU Pangkep, Haniah dengan hukuman 12 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta, kemarin 1 Juni 2009.
Sementara Ketua KPU Abd Rahman bersama tiga anggota KPU lainnya, Andi Idris Aliyafie, Qurratul Uyun, dan Mutahar divonis bebas dalam sidang terpisah. Sebelumnya, keempat terdakwa masing-masing dituntut empat bulan.
Menanggapi vonis tersebut, Haniah melalui tim pengacaranya menyatakan banding atas putusan majelis hakim tersebut.
Mengenai vonis Pengadilan negeri Pangkep, KPU Sulsel mengaku menunggu putusan tertulis vonis Haniah untuk diplenokan sebelum memutuskan pergantian antar waktu (PAW) terhadap yang bersangkutan.
"Bagi empat anggota lainnya agar tetap bekerja seperti biasa terutama dalam mempersiapkan pemilihan presiden (pilpres) mendatang," kata anggota KPU Sulsel, Syamsir A Rahim.
Ada indikasi Keterlibatan Bupati Pangkep Syafruddin Nur
Sementara itu ada temuan terbaru yang diungkapkan Aliansi Partai Politik Pangkep, bahwa, Bupati Pangkep, Ir. H.Syafruddin Nur, diduga ikut terlibat dalam kasus dugaan penggelembungan suara pemilu legislatif lalu yang mendudukkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai terdakwa.
Koordinator Aliansi Partai Politik Pangkep, Arsyad Kunnu, mengaku dua kali diberi uang oleh Syafrudin usai menggelar aksi demo ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pangkep.
"Kami dua kali dipanggil dan diberi uang. Pertama Rp 50 juta kemudian Rp 10 juta. Tapi uang itu kami kembalikan karena kami tidak tahu untuk apa," ujar Arsyad, Senin 1 Juni 2009.
Menyikapi kasus tersebut, Kabag Humas Pangkep, Abubakar, mengatakan, bupati tidak tahu menahu dengan kasus yang terjadi di KPU Pangkep.
Karenanya, Bupati Pangkep Syafrudin Nur akan menuntut balik dengan tuduhan pencemaran nama baik bila namanya dikait-kaitkan dalam kasus pemilu tersebut. "Ini mengherankan, kenapa nama Pak Bupati tiba-tiba dimunculkan. Ada apa ini?" kata Abu Bakar.
Namun Arsyad Kunnu tetap bersikukuh dengan sikapnya dan yakin bahwa Bupati Pangkep,Syafrudin terlibat dalam kasus yang terjadi di KPU Pangkep. "Makanya, kami meminta Pak Syafrudin tidak mengada-ada dan terbuka mengakui. Jangan cuci tangan," tegas Arsyad yang bersama Bisman mengoordinir 27 partai politik menolak hasil pemilu di Pangkep.
Pernyataan Arsyad itu disampaikan terbuka di depan beberapa aktivis pemuda dan pengurus partai politik di Warkop Pemilu, Pangkep, di antaranya, aktivis LSM Rusli Hamid.
Ketua DPD II PKPI Pangkep itu mengatakan aksi yang mereka lakukan selama ini bukan untuk mengintervensi penyelenggara pemilu di Pangkep. "Kami selalu dituding mau mengintervensi. Tapi, kalau memberi memo, apa itu tidak intervensi namanya," tegas Arsyad.
Sebelumnya, Haniah sempat mengaku menerima memo dari Bupati Pangkep, Syafrudin Nur untuk menjamin agar caleg tertentu diloloskan.
Saat dikonfirmasi atas pengakuan Haniah, Bupati Pangkep,Syafrudin Nur mengancam akan menggugat jika ucapan anggota KPU itu tidak bisa dibuktikan.
Transaksi Jual Beli Suara Diduga Dilakukan Di Hotel atau di Mal
ISU penggelembungan suara yang dilakukan oleh oknum anggota komisi pemilihan umum (KPU) berembus kencang sejak penghitungan di panitia pemilihan kecamatan (PPK).
Sejumlah calon anggota legislatif (caleg) mengaku terkejut karena data dari tim sukses atau saksi mereka berbeda dengan hasil rekapitulasi di PPK maupun KPU.
Tak heran, beberapa caleg membeberkan ketidakberesan kinerja para penyelenggara pemilu tersebut, termasuk praktik jual beli suara.
KPU Sulsel kemudian membentuk tim kehormatan untuk memantau kasus di beberapa KPU yang menggelinding ke polisi seperti KPU Sidrap, Pangkep, Gowa, dan Palopo.
"Untuk pidananya ditangani polisi, sedangkan untuk pelanggaran kode etik ditangani oleh KPU Sulsel. Makanya kita membentuk dewan kehormatan," kata anggota KPU Sulsel, Syamsir A Rahim, yang juga menjadi anggota dewan kehormatan.
Dewan kehormatan diketuai oleh anggota KPU Sulsel Lomba Sultan dan melibatkan akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Aminuddin Ilmar SH MH.
Beredar kabar, transaksi penggelembungan suara berlangsung di hotel atau mal. Para caleg yang ingin mendapat tambahan jatah suara agar bisa lolos ke parlemen melobi anggota KPU yang dinilai memiliki pengaruh.
"Jadi tidak mesti ketua yang dilobi karena ada anggota yang memiliki pengaruh yang lebih besar untuk membujuk anggota lainnya. Inilah yang dimanfaatkan tim sukses caleg," kata seorang mantan anggota KPU menceritakan modus penggelembungan.
Berapa nilai transaksi untuk menggelembungkan suara tersebut? Sumber tersebut mengatakan, nilainya bergantung pada seberapa besar suara yang diperlukan untuk mendongkrak posisi si caleg dan level parlemen caleg.
Angkanya pun mulai puluhan juta hingga ratusan juta. Caleg DPR RI biasanya harus membayar lebih mahal ketimbang caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. (MRTN – Losari News Network)





