Rabu, Maret 18, 2009

Investigasi – Membongkar Indikasi Korupsi dan Markup PDAM Makassar


Makassar, Rabu, 18 Maret 2009
Losari News Network -- Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel menemukan adanya dugaan mark up anggaran Rp 1,4 miliar untuk pengadaan meteran PDAM pada tahun anggaran 2007 lalu. Meteran merek Barindo yang standar harganya hanya Rp 115.000 dimark-up menjadi Rp 205 ribu per buah. Itu berdasarkan perbandingan harga meteran di toko Rajawali. Harga itu juga sudah termasuk pemotongan pajak. Dengan demikian oleh BPKP diduga terjadi indikasi penggelembungan (mark up) hingga sekitar Rp90.000 per unit atau total Rp1,4 miliar.Temuan itu merupakan hasil audit BPKP yang hasilnya telah diserahkan ke Walikota Makassar, tiga pekan lalu. Laporan hasil audit tersebut tertanggal 31 Desember 2008.
Informasi dari BPKP menyebutkan bahwa untuk pengadaan meteran tersebut, PDAM melakukan kerja sama dengan PT Wetang Lestari. Secara keseluruhan, anggaran pengadaan meteran ini Rp 3,3 miliar rupiah. Padahal seharusnya hanya Rp 1,9 miliar. Artinya, pihak PDAM melakukan mark-up anggaran Rp 1,4 miliar.
Selain soal dugaan mark-up pembelian meteran ini, pihak BPKP juga mengeluarkan rekomendasi untuk pembatalan MoU dengan PT Traya Tirta dalam hal pengelolaan IPA 2 Panaikang. Rekomendasi tersebut sama dengan rekomendasi yang dikeluarkan BPK RI sebelumnya. Alasan pembatalan MoU itu sendiri untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Informasi lain yang dihimpun Losari News Network menyebutkan bahwa dugaan mark up anggaran juga terjadi pada proyek pengadaan material pipa dengan jumlah anggaran Rp 7 miliar. Hanya belum diketahui secara pasti berupa nilai anggaran yang dimark-up dalam pengadaan pipa ini.
Direktur Teknik PDAM Makassar, Abdul Rachmansyah, yang dikonfirmasi enggan memberikan penjelasan.Dia mengaku sedang rapat dan menyarankan bertanya langsung ke atasannya, Direktur Utama PDAM. Akan tetapi Direktur Utama PDAM Makassar, Tajuddin Noor, juga tak mau memberi keterangan dengan berdalih sedang rapat di dewan.
Anggota Badan Pengawas (BP) PDAM Makassar, Bastian Lubis yang juga ikut dikonfirmasi sekaitan temuan BPKP tersebut membenarkannya. “Memang seperti itulah kenyataan di PDAM. Manajemennya tak karuan,” beber Bastian.

Bastian lalu membeberkan, pengadaan pipa dengan merek Paralon juga bermasalah karena palsu. Material yang digunakan tersebut bukan asli. “Hasil penelusuran saya memang seperti itu. Masalah ini sudah saya laporkan ke walikota,” ujarnya.
Hanya saja, Bastian enggan mengungkapkan lebih jauh berapa banyak material pipa yang dianggarkan PDAM lewat PT Bahana Cipta pada 2008 lalu. Termasuk kerugian negara atas kasus ini. “Belum bisa saya sebutkan Dik, karena sementara masih kumpulkan data. Nanti kalau sudah lengkap saya berikan,” kata Bastian.

Kepala Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulawesi Selatan Wawan Ridwan tak membantah bahwa pihaknya telah menemukan adanya dugaan mark-up pada proyek water meter di PDAM Makassar.
"Temuan itu merupakan hasil audit yang dilakukan BPKP selama Juli hingga Desember 2008 lalu. Audit dilakukan berdasarkan permintaan owner PDAM yakni Wali Kota Makassar yang saat itu dijabat Ilham Arief Sirajuddin," ujar Wawan saat ditemui di Kantor BPKP, Kompleks Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Makassar.

Wawan juga mengakui pihaknya telah dihubungi kejaksaan dan meminta hasil audit tersebut. Namun Wawan menyarankan kejaksaan agar mengambil data langsung ke Wali Kota Makassar sebagai pemohon audit.

Menurut Wawan yang didampingi Kepala Bidang Investigasi BPKP Sulsel, Suryo Martono, penyidik kejaksaan meminta data-data lengkap hasil audit mereka persis setelah beritanya muncul di media. Hanya, kata dia, BPKP tak menyerahkannya sebab mereka punya protap tersendiri terkait laporan audit investigasinya.

“Indikasinya memang ada dugaan kerugian. Dan kejaksaan sudah meminta laporannya. Hanya kita tidak memberi sebab kami punya protap sendiri. Audit ini atas perintah walikota, jadi tidak serta merta bisa diberikan. Harus ada izin,” kata Wawan.

Pada kesempatan itu, Wawan juga secara khusus menegaskan bahwa informasi mengenai dugaan mark-up proyek meteran PDAM pada 2007 lalu itu informasinya tidak langsung dari BPKP selaku pelaksana audit.

Alasannya, kewajiban mereka hanya menyerahkan audit itu ke walikota dan Badan Pengawas Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar. Menurut dia, audit itu sesuai permintaan walikota dalam surat nomor 690/595.1.Ekbang/VII/2008 tanggal 10 Juli 2008.

Apa yang muncul di media terkait mark-up Rp 1,4 miliar, juga dibenarkan Wawan dan Suryo. “Secara substansi kami tidak sangkali,” kata Suryo. “Substansinya akurat. Itu dari laporan kami. Seperti itu laporan kami,” imbuh Wawan ketika ditanya isi laporan hasil auditnya. Hanya memang, menurut
Wawan, pihaknya tak bisa melansir hasil audit itu pertama kali. Sebab itu etika audit BPKP.

Terkait alasan rekomendasi pembatalan kesepakatan pemkot dengan PT Traya Tirta Makassar, Wawan juga membenarkannya. Alasannya kata dia banyak. “Tapi ujung ujungnya itu akan merugikan masyarakat. Masyarakat akan terbebani dengan perubahan tarif. Jadi kalau kebijakan itu merugikan, kenapa tidak diputus saja,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, Tadjuddin Noor, akhirnya buka mulut terkait dugaan mark-up pengadaan meteran air (water meter) PDAM 2007 lalu. Menurut dia,
temuan BPKP Perwakilan Sulsel itu atas permintaan Walikota Makassar saat itu, Ilham Arif Sirajuddin.

Tadjuddin pun menyatakan siap memberi klarifikasi ke Walikota Makassar, Andi Herry Iskandar, terkait temuan BPKP itu. “Dalam dua tiga atau hari ini, saya akan memberikan klarifikasi ke walikota. Yang jelas, audit investigasi itu atas permintaan walikota pada 2007 lalu,” terang Tadjuddin.

Soal pengadaan water meter yang ditemukan terjadi markup Rp 1,4 miliar, Tadjuddin mengaku itu tidak benar karena semuanya sudah sesuai prosedur. Pengadaan water meter melalui tender yang imenangkan PT Wetang dengan merek Barindo. “Harga meteran air itu sudah sesuai yang ada di pasaran. Intinya sudah sesuai prosedur,” dalih Tadjuddin. Ketika disinggung soal pemanggilannya ke Kejari Makassar, Tadjuddin mengaku belum ada panggilan ke kejaksaan. “Siapa bilang saya diperiksa di kejaksaan. Dari mana informasinya itu?” Tampik dia.

Humas PDAM Makassar, Muhammad Jufri Sakka, menambahkan, berdasarkan penelusuran yang dilakukan pihaknya baru-baru ini sekaitan harga water meter yang digunakan PDAM Gowa dengan merek yang sama, permintaan 1.000 biji dengan harga Rp 145 ribu belum termasuk PPN. Bukan Rp 115 ribu sebagaimana informasi yang berkembang selama ini.

“Adapun harga yang terdapat dalam kontrak pengadaan water meter yakni Rp 176.750 ditambah PPN 10 persen sehingga menjadi Rp 194.425,” sebut Jufri.

Ketua Badan Pengawas (BP) PDAM, Ruslan Abu, ditemui terpisah menyatakan manajemen PDAM akan menghadap walikota untuk klarifikasi temuan
BPKP pada pekan depan. “Kemungkinan besar manajemen akan dievaluasi,” ujarnya.

Menurut Walikota Makassar, Andi Herry Iskandar, laporan hasil audit ini merupakan permintaan Wali Kota Makassar sebelumnya, yaitu Ilham Arif Sirajuddin, saat itu Andi Herry Iskandar menjabat sebagai wakil walikota. Audit dila­kukan menyusul ada dugaan penyelewengan di tubuh salah satu perusahaan daerah milik Pemkot itu. “Memang benar ada dugaan penggelembungan dan kami akan segera melakukan pertemuan dengan direksi PDAM untuk meminta klarifikasi,” kata Herry di Balai Kota.
Wali Kota menambahkan, pihaknya akan mempelajari terlebih dulu laporan BPKP mengenai dugaan penggelembung­an. Di samping itu juga permintaan pemutusan MoU dengan pihak ketiga PT Traya Tirta Makassar dalam pengelolaan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Panaikang II.

Pemutusan MoU, menurut BPKP, untuk menghindari poten­si kerugian lebih besar. Hal itu terkait adanya dugaan mark up anggaran yang juga terjadi pada proyek pengadaan material pipa bersama Traya, di mana proyek tersebut menelan anggar­an sebesar Rp7 miliar.

Secara terpisah, Ketua Badan Pengawas PDAM Makassar Ruslan Abu membenarkan hasil audit BPKP yang mengendus penggelembungan anggaran. Tapi, dia mengaku pihaknya belum bertemu dengan direksi PDAM terkait temuan itu. “Status kami di sini hanya seba­gai pengawas yang bertugas memantau PDAM dalam hal kontrak kerja sama dengan pihak ketiga. Menyangkut anggarannya sepenuhnya wewenang direksi,” kata Ruslan.

Dari informasi yang dihimpun Losari News Network diketahui bahwa selain kasus mark up meteran meteran sudah sampai di meja Wali Kota sekitar sebulan lalu dan wacana pemutusan kontrak kerja sama dengan PT Traya Tirta Makassar, PDAM Makassar juga terindikasi kasus pajak senilai Rp7,5 miliar dan mark up pada tender pengadaan air di PT Makassar Te’ne. Dimana dalam kasus dugaan penggelapan pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat diketahui telah memblokir rekening PDAM Makassar. Kasus ini telah berlangsung sejak 2005 hingga 2006.

Menanggapi kasus dugaan markup tersebut, Wali Kota Makassar Andi Herry Iskandar menegaskan segera melimpahkan kasus dugaan mark up pengadaan meteran di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan. "Hari ini ( 16 Maret 2009) saya sudah bertemu dengan direksi PDAM. Kesimpulannya kita akan melanjutkan hal ini ke proses hukum ke kejaksaan dalam waktu satu atau dua hari ke depan," kata Herry di balai kota.

Sebelum bicara kepada pers, Herry bertemu dengan Direktur Utama PDAM Kota Makassar Tadjuddin Noor. Pertemuan Herry-Tadjuddin berlangsung sekitar satu jam di ruang kerja wali kota.

Tadjuddin kepada wartawan mengatakan semua proses tender dalam pengadaan meteran tahun 2007 lalu tersebut sudah dijalankan sesuai standar prosedur.
"Kita sudah bicarakan tadi dengan pak wali dan selesai. Siap atau tidak tetap akan diselesaikan melalui proses hukum. Semua tender sudah sesuai prosedur," kata Tadjuddin.

Komentar Ilham Arief Sirajuddin - PDAM Makassar Sarat Praktik Mark Up Pengadaan Barang
'PENYAKIT' yang diderita Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar betul-betul sudah meradang. Jumlah utang investasi besar mencapai Rp144 miliar dan dalam waktu dekat sudah jatuh tempo. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan jumlah pendapatan yang diterima PDAM Makassar per tahunnya.Kondisi ini diperparah dengan ulah beberapa oknum dalam tubuh PDAM Makassar yang terus melakukan praktik mark up. Indikasi ini sangat jelas. Menurut Hamid Paddu dari Badan Pengawas PDAM Makassar, tingkat kebocoran dana PDAM Makassar tergolong tinggi.

Tak mengherankan memang, jika owner (pemilik) PDAM Makassar dalam hal ini Walikota Makassar saat itu, Ilham Arif Sirajuddin bersama badan pengawas PDAM Makassar meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terhadap berbagai dugaan mark up yang terjadi di PDAM Makassar.

Saat itu, BPKP masih melakukan pemeriksaan di PDAM Makassar. Berdasar informasi yang diperoleh dari bagian keuangan PDAM Makassar, ada beberapa item yang menjadi pusat perhatian BPKP , antara lain; mark up pembelian meteran pada tahun 2004 lalu, mark up pengadaan pipa dan instalasi di Antang, pengadaan pompa air yang belum digunakan atau mubazir padahal pembelian tersebut sejak tahun 2004, serta beberapa pembelian barang lainnya.

Saat dihubungi Losari News Network ,Ilham Arif Sirajuddin membenarkan bahwa memang ada indikasi mark up dalam tubuh PDAM. "Sudah saatnya manajemen PDAM sadar bahwa praktik melebihkan harga itu sangat tidak benar. Ya, kalau mark up dengan harga sedikit tak masalah. Contohnya, harga pensil dengan harga ideal Rp1.000 per buah, tak masalah dilaporkan Rp1.200 per buah. Tapi kalau harga pensil dengan harga ideal Rp1.000 per buah dilaporkan dengan harga Rp5.000 per buah, itu tak masuk akal," ujar Ilham.

Kendati demikian, lanjut Ilham, dirinya saat masih menjabat sebagai walikota Makassar belum bisa mengambil kesimpulan sebelum ada hasil dari pemeriksaan BPKP yang digabung dengan hasil laporan dari badan pengawas PDAM Makassar.

Praktik mark up dalam tubuh PDAM Makassar itu, juga menjadi penyebab utama sehingga perusahaan milik Pemkot Makassar ini terus merugi.

Bahkan, ada informasi yang menarik terungkap dari bagian keuangan PDAM Makassar. Apa itu? Ternyata, biaya atau anggaran credit card (kartu kredit) Direktur Utama (Dirut) PDAM Makassar saat itu, Ridwan Syahputra Musagani ,juga diduga ditanggung oleh perusahaan.
Hal lain, biaya Munas Perpamsi di Makassar belum lama ini juga menjadi salah satu 'kran' pengeluaran PDAM Makassar, termasuk biaya tim sukses kemenangan kubu Ridwan sebagai kandidat Ketua Perpamsi. Jumlah anggarannya diduga mencapai Rp180 juta.

Ridwan Musagani yang juga pernah menjadi salah satu kandidat calon walikota Makassar 2009-2014, ketika hendak dikonfirmasi tak pernah berhasil.
Saat masih menjabat sebagai Walikota Makassar ,Ilham Arif Sirajuddin ,pernah merancang cara agar PDAM Makassar bisa meraih keuntungan finansial. Maklum, PDAM Makassar memiliki banyak utang luar negeri yang dalam waktu dekat ini akan jatuh tempo.

"Sejak dulu saya sebagai walikota telah marancang bagaimana PDAM Makassar bisa untung. Manajemen yang boros, tak efisien, dan sebagainya menjadi penyebab sehingga PDAM Makassar terus merugi," kata Ilham . Solusinya adalah Pemkot mencari perusahaan swasta untuk mengelola PDAM Makassar di sektor produksi. Manajemen PDAM, lanjutnya, hanya sekadar menjual air. "Saat ini kan rawan terjadi mark up, karena yang memproduksi bukan profesional. Ke depan kita akan swastakan PDAM Makassar, yakni dikelola pihak ketiga," terang Ilham.

AM Riady , anggota DPRD Makassar dari PDK mengatakan, DPRD Makassar berdasar pada tingkat kerja manajemen PDAM yang dari waktu ke waktu bisa menekan angka kerugian. "Memang kalau meraih keuntungan belum ada. Namun dengan menekan jumlah kerugian setiap tahun itu adalah sebuah prestasi," katanya.

Kerjasama PDAM Makassar dengan –PT. Traya Tirta Terindikasi Korupsi
 Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Sulsel, Ramzah Thabraman menilai ada indikasi korupsi pada kerjasama pengelolaan Instalasi Pengolahan Air (IPA) II antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar dengan pihak ketiga yakni PT Traya Tirta.

Ramzah menyebutkan terdapat sejumlah kelemahan pada kontrak kerjasama tersebut.
"Kerjasama itu tidak melalui mekanisme lelang yang wajar. Sejak awal tidak ada pengumuman terkait rencana kerjasama pengolahan IPA II," terangnya singkat.
Tidak hanya itu, menurutnya, pada nota kerjasama keduanya, PDAM berperan sebagai penentu tarif. Akan tetapi dalam realisasinya, PDAM justru menyepakati tarif yang diajukan pihak Traya, yaitu Rp1.350 per liter kubik. Padahal sebelumnya Direksi PDAM komitmen akan menekan tarif yang ditawarkan Traya hingga Rp800.
Selain itu, kerjasama tidak disertai dengan pelepasan aset PDAM yang saat ini ikut digunakan PT. Traya Tirta. Bersamaan dengan itu, aset PDAM justru tidak jelas dan terkesan disembunyikan.

"Ini makin menguatkan indikasi korupsi karena ada gejala mark-up tarif. Ada indikasi penyerahan IPA II, untuk kepentingan pribadi?," tegas Ramzah menyinggung kinerja direksi PDAM.

Padahal menurut Ramzah, IPA II tidak layak untuk dipihak ketigakan karena instalasi yang terletak di kawasan Jl Abdullah Dg Sirua itu merupakan simbol prestasi dan tulang punggung produksi PDAM selama ini.

"Makanya kami mendesak Kapolda dan Kajati segera mengambil sikap terhadap masalah ini," tegasnya.

Carut marut proses kerjasama tersebut, menurutnya juga tidak lepas dari lemahnya kinerja direksi PDAM kota yang saat itu dipimpin Walikota, Ilham Arif Sirajuddin itu. Terkait hal itu, Ramzah menilai Ilham telah melanggar Kepmendagri No 2 tahun 2007 tentang organisasi dan kepegawaian PDAM. Sejatinya, pada pasal 3 disebutkan, Direksi PDAM yang berasal dari luar untuk pengangkatan pertama kali menjadi direktur berusia maksimal 50 tahun, sementara dari dalam PDAM berusia maksimal 55 tahun.
"Tetapi yang terjadi tidak demikian. Ini adalah pelanggaran," tandasnya.
Sebagai catatan, kerjasama PDAM-Traya Tirta telah berlangsung sejak 2006. Sementara IPA II meliputi distribusi air bersih sejumlah kecamatan, diantaranya, Panakkukang, Tamalanrea dan sebagian kawasan kota.

PT. Traya Tirta Diduga Merugikan PDAM Makassar Rp. 27,1 Milyar pertahun

Dari hasil kontrak kerjasama PDAM Makassar dan PT. Traya Tirta Losari News Network menemukan adanya indikasi yang merugikan PDAM Makassar senilai Rp27,1 miliar per tahun tentang kerjasama penyediaan air baku.

Sekretaris Badan Pengawas PDAM Kota Makassar yang mewakili diri sendiri, Bastian Lubis, menjelaskan kepada Losari News Network, sebelumnya pembahasan kerjasama penyediaan air baku pernah dibahas. Sesuai rujukan BPK RI tahun anggaran 1998-1999 Nomor 214/S/II-XIV/4/5/99 tanggal 18 Mei 1999, maka pembahasan kerjasama PDAM Kota Madya Ujung Pandang pada poin 2.9 dinyatakan kerjasama pengelolaan air minum Panaikang dengan konsersium Tirta Panaikang cenderung merugikan karena harus membayar Rp7,9 miliar.

"PT Traya dengan PT Tirta Degremant atas rekomendasi BPK menyatakan bahwa laporan itu ditujukan kepada Walikota Madya Ujung Pandang agar meninjau dan membatalkan kembali perjanjian kerjasama PDAM karena dianggap merugikan," jelasnya.
Setelah itu, lanjut Bastian, entah kenapa setelah 8 tahun kemudian persoalan itu muncul kembali dan kini hanya dengan PT Traya.
Bastian sendiri dalam pendapatnya sebagai Sekretaris Badan Pengawas tanpa mewakili Badan Pengawas lainnya berpendapat "Dengan adanya ini telah ada pertimbangan sebelumnya kepada direksi apakah mampu dan yakin untuk melakukan kerjasama, karena perhitungan Badan Pengawas pada waktu itu adalah tidak mungkin, dengan rekomendasi nomor 03/BPPDAM/I/2008 yang sifatnya konfedensial kepada Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin pada waktu itu, karena metode kontrak yang dibuat sekarang akan berpotensi PDAM Kota Makassar akan merugi Rp27,1 miliar per tahunnya," ungkapnya.

Bahkan berdasarkan hitungan Badan Pengawas pada pertemuan pertama bersama konsultan hukum, yaitu Prof Amiruddin Ilmar dengan Prof Sukarno, pada waktu itu kontrak itu dinyatakan dibatalkan.

Dugaan Markup dan Korupsi PDAM Makassar diarahkan untuk ditangani KPK 
Dua kasus dugaan korupsi di PDAM Makassar pada kurun waktu 2006 dan 2007, yang tak jelas penanganannya, membuat Direktur LP Sibuk Djusman AR, berencana menggiring kasus mark up pengadaan meteran PDAM senilai Rp 1,4 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena itu ia berharap kejaksaan bisa berlapang dada melepas kasus ini untuk diambil alih KPK.

"Saya jujur saja, saya tidak percaya lagi sama kepolisian dengan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Banyak pengalaman buruk, dimana dua kasus korupsi PDAM yang ditangani kejaksaan dan Polda Sulsel, tak jelas juntrungannya," tegas Djusman, kepada Losari News Network.

Kasus dugaan mark up pengadaan meteran PDAM senilai Rp 1,4 miliar, telah dilaporkan ke Kejati Sulsel. Kejati kemudian menyorong kasus ini untuk ditangani Kejari Makassar.
"Hal-hal seperti inilah yang saya anggap tidak jelas. Makanya, saya akan sorong ini ke KPK. Kejaksaan, mohon maaf, lapang dada saja," tukasnya lagi.
Meski kata Djusman, ia juga tak bisa menghalangi keinginan kejaksaan untuk menangani kasus ini. Karena menjadi kewajiban aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti setiap laporan yang mengindikasikan adanya tindakan melawan hukum.
Tapi daripada kasus ini bernasib sama dengan dua kasus sebelumnya, Djusman memilih menggiringnya ke lembaga yang lebih terpercaya--KPK.
"Apalagi, saya melihat modus kasus tersebut sangat cocok ditangani oleh KPK,'' tegasnya.
Ia memaparkan, proyek pengadaan meteran tersebut menggunakan dana Rp 3,6 miliar. Hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel yang diserahkan tiga pekan lalu ke Walikota Makassar Herry Iskandar menyebutkan, ada indikasi kerugian Rp 1,4 miliar dalam proyek tersebut.

Menurut Djusman, pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab dalam kasus tersebut adalah PT. Wetang Lestari (rekanan), Dirut PDAM Tadjuddin Nor dan panitia lelang.
Djusman juga meminta Walikota Makassar Herry Iskandar segera melakukan restrukturisasi di tubuh PDAM. Ia menyarankan agar direksi dan badan pengawas dirombak.
BP dalam kapasitasnya sebagai lembaga kontrol, tentu saja mengetahui setiap aliran dan penggunaan dana di PDAM. Tapi ironisnya, selama ini BP tak melakukan proteksi terhadap proses tender itu, padahal jelas ada kerugian negara di dalamnya.
"Kalau misalnya BP bilang tidak tahu, ini malah yang lebih lucu. Itu berarti BP tak bekerja selama ini," tukas Djusman.
Dua kasus dugaan korupsi yang melilit PDAM Makassar sebelumnya adalah tahun 2006 lalu. Saat itu, Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulsel melaporkan kasus adanya dugaan korupsi pada dana asuransi karyawan PDAM Makassar.
Dugaan kerugian negara mencapai Rp 9,3 miliar.
Tidak sampai disitu. Tahun 2007 lalu, PDAM Makassar kembali didera isu korupsi. LP-Sibuk melapor ke kejaksaan akan adanya dugaan kerugian Rp 6,28 miliar, terkait biaya perjamuan tamu Direksi PDAM.
Kebocoran anggaran sebesar Rp 6.28 M mulai mencuat awal bulan Juni 2007 di insspektorat Makassar dalam rapat verifikasi pemutakhiran data pada hari Senin 18 Juni 2007.
Dugaan kebocoran tersebut juga diperkuat oleh temuan BP-PDAM tahun 2005 hingga 2006 sebesar Rp 31 M lebih. Setelah diverifikasi jumlahnya berkurang menjadi Rp 9,4 miliar, kemudian di verifikasi ulang jumlahnya turun lagi Rp 7,3 miliar.
Lalu pada verifikasi terakhir jumlah semakin menyusut Rp 6,28 miliar. Angka inilah yg diduga kuat mengarah ke tindak pidana korupsi karena digunakan untuk kepentingan pribadi sehingga merugikan negara Rp 6,28 miliar.

Sekretaris Badan Pengawas PDAM Bastian Lubis mengatakan, pihaknya sangat mendukung jika kasus ini segera digiring ke KPK.
"Saya oke saja, silakan, itu memang sudah harus dilakukan," katanya sore kemarin.
Namun, Bastian membantah jika selama ini pihaknya dianggap tak bekerja atau tak melakukan proteksi terhadap proses tender itu. Menurutnya, sejak awal ia sudah mengingatkan direksi PDAM agar menghentikan proses tender itu, karena sarat dengan masalah.
"Malah saya sudah melayangkan rekomendasi kepada walikota, agar direksi diingatkan. Tapi itu malah tak digubris. Direksi yang keras kepala, sudah tahu bermasalah, malah tetap dilanjut. Ya beginilah jadinya," tukas Bastian.
Hanya saja, Bastian memahami posisinya sebagai badan pengawas. Kata dia, badan pengawas tidak bisa serta merta menghentikan itu, meski diketahui bermasalah. BP hanya bisa mengajukan rekomendasi.
"Soal mau dihentikan atau tidak, itu hak walikota dan direksi. Tapi dulu walikota sudah meminta agar dihentikan, tapi memang direksi yang ngotot mau lanjut," tukasnya.

Gaji Direktur PDAM Makassar Rp. 264 Juta Setahun.
Pantas saja banyak yang berebutan atau berupaya mempertahankan mati-matian jabatan direktur utama di PDAM. Pasalnya, gaji direktur umum PDAM mencapai Rp 264 juta setahun atau rata-rata Rp 22 juta per bulan. Besaran gaji seorang dirut ini diungkapkan langsung oleh Direktur Umum PDAM Makassar, Ir Tajuddin Nur. Itu pun karena dia didesak oleh panitia anggaran (Panggar) DPRD Makassar, dalam rapat anggaran, pada 23 Januari 2009 lalu .

Bukan hanya direktur umum di PDAM yang punya pendapatan melimpah. Para direktur seperti direktur umum atau direktur operasional juga punya pendapatan yang hampir sama. Hanya selisih Rp1 juta di bawah gaji Tajuddin.

Rapat ini sebenarnya untuk mendengarkan penjelasan PDAM Makassar tentang kondisi keuangan PDAM ditengah lilitan hutang mereka terhadap PT Traya Tirta sekira Rp 15 miliar.

Dalam laporan keuangan yang disampaikan di DPRD, Tajuddin menyampaikan, PDAM saat ini memperoleh pendapatan pertahun Rp 128 miliar. Setelah dihitung dengan pengeluaran, laba bersih PDAM untuk 2008 mencapai Rp 11 miliar. Dan Saldo PDAM Kota Makassar sekarang ini, Rp 60 miliar.

Dugaan Bisnis Terselubung PDAM Makassar dan PT. Traya Tirta
Di balik kasus dugaan Markup PDAM Makassar ternyata ada BISNIS TERSELUBUNG yang hasilnya sangat menggiurkan di perusahaan air minum milik pemerintah kota Makassar ini. Dari informasi yang dihimpun Losari News Network Perusahaan Daerah (PDAM) ini harus membayar Rp 1.350 setiap meter kubik kepada PT Traya sebagai pihak yang memproduksi air bersih.

Bila dikalkulasi, nilai ini sangat di luar kewajaran. Bila produksi air bersih IPA Panaikang mencapai 2 juta meter kubik per bulan, maka pihak PDAM harus merogoh kocek minimal Rp 2,7 miliar setiap bulan untuk dibayarkan ke PT Traya. Ini suatu kewajiban yang harus dilakukan PDAM karena terikat kontrak.

Untuk sebuah air bersih, harga nominal itu jauh lebih mahal. Selama inirata-rata biaya produksi di IPA Panaikang hanya sekira Rp 450 per meter kubik. Dengan demikian sewajarnya harga yang pantas untuk dikerjasamakan hanya Rp 550 per meter kubik jika tak memperhitungkan faktor kehilangan air.
Faktor kehilangan air yang terjadi selama ini di PDAM berkisar antara 40 hingga 47 persen setiap bulan dari produksi. Bila PDAM memperhitungkan faktor kehilangan air, maka nilai wajar cukup Rp 850 per meter kubik yang dikerjasamakan.
Yang menjadi pertanyaan, ke mana dana Rp 500 setiap meter kubik itu? Adakah dana ini mengalir ke kantong pejabat pemerintah kota atau bagian dari kongkalikong PT Traya dengan PDAM?
Beberapa kejanggalan sebelum PT Traya ke Makassar memang sempat terungkap. Di antaranya, proses lelang yang tidak dilakukan.

Seperti yang dilansir Lembaga Survei dan Pengawasan Pembangunan Daerah (LSP2D), perusahaan yang berpusat di Tangerang itu dipercaya PDAM untuk melakukan rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan instalasi pengolahan air minum Panaikang. Namun, ternyata tanpa melalui proses lelang atau hanya melalui penunjukan langsung. Padahal, nilai proyek mencapai Rp 73 miliar lebih.

Sementara dalam Keppres No.80 Tahun 2003 mengatur bahwa proyek yang bernilai Rp 50 juta lebih wajib dilakukan tender terbuka dan transparan. Walikota Makassar Andi Herry Iskandar yang dihubungi mengatakan, MoU yang lahir itu merupakan kesepakatan PT Traya dengan PDAM. “PT Traya jangan coba-coba menyetop air. Sebab apapun (langka) saya akan lakukan jika dihentikan.

Ini terkait pelayanan umum,” tegas Herry menolak mengomentari isu di balik konflik PT Traya dan PDAM. Site Manager PT Traya Tirta Makassar, Suranto enggan berkomentar. Soal kerugian PDAM akibat kerja sama itu, termasuk harga air, ia serahkan sepenuhnya ke PDAM. “Silakan tanya ke PDAM,” singkatnya.

Anggota Komisi A DPRD Makassar Syamsu Rizal mengatakan, kesalahan fatal ini diperlihatkan pemerintah kota. Mestinya, hal seperti ini dipertimbangkan sebelum dilakukan kerja sama.

Dia menyebut, jangka waktu pelaksanaan kerja sama pengelolaan IPA Panaikang oleh PT Traya selama 20 tahun tidak didasari dengan analisa yang objektif serta tidak dihitung secara transparan. “Mestinya ada jangka waktu pengembalian modal dan perolehan keuntungan. Bukan semata kepentingan dan keuntungan sepihak oleh investor,” tandasnya.

Kejati Segera Panggil Direksi PDAM
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan mulai menyelidiki dugaan mark up pengadaan meteran di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar.
Mulai pekan ini, kejati akan melayangkan surat pemanggilan terhadap para direksi dan pejabat PDAM Kota Makassar untuk dimintai keterangannya.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulsel Godang Riady mengungkapkan hal itu di kantornya, Selasa kemarin. "Pokoknya segera ada pemeriksaan terhadap kasus ini," tegasnya.

Kejati sudah memperoleh hasil audit investigasi BPKP yang menemukan dugaan mark up dalam proyek pengadaan meteran yang dimenangkan rekanan PT Wetang Lestasi. Dari total nilai proyek senilai Rp 3,3 Miliar, diduga terjadi markup senilai Rp 1,4 Miliar.

Sebelumnya, Wali Kota Makassar Andi Herry Iskandar menegaskan pihaknya mendukung temuan BPKP itu ditindaklanjuti kejaksaan. Herry juga sudah bertemu dengan direksi PDAM dan pada kesimpulannya Herry setuju kasus ini dilanjutkan ke proses hukum. ANTI KORUPSI GANTUNG KORUPTOR( SAV - - Losari News Network )