Sabtu, Februari 14, 2009

EDITORIAL - Mengawal Eksistensi Pengadilan Tipikor


Sabtu, 14 Februari 2009
EKSISTENSI Pengadilan Tipikor dalam bahaya. Di tengah tenggat hingga Desember mendatang, pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) itu di DPR baru mencapai tahap rapat dengar pendapat umum yang melibatkan sejumlah ahli. Daftar inventarisasi masalah pun belum ada.
Padahal, DPR awal Maret sudah memasuki masa reses. Setelah itu anggota dewan disibukkan dengan agenda politik penting, yakni pemilihan umum legislatif pada April dan pemilihan presiden pada Juli mendatang. Namun, bila pemilihan presiden harus dilakukan dua putaran, waktu anggota dewan bakal tersita lagi minimal satu bulan.
Dengan masa bakti DPR hanya sampai awal Oktober, alokasi waktu untuk merampungkan RUU Pengadilan Tipikor sangat sempit. Padahal mengharapkan anggota DPR yang baru untuk merampungkannya juga sangat tidak mungkin karena prosesnya harus kembali dari awal.
Ketidakpastian nasib RUU Pengadilan Tipikor semakin besar karena perilaku buruk anggota dewan dalam menghadiri rapat. Rata-rata jumlah anggota panitia khusus (pansus), termasuk Pansus RUU Pengadilan Tipikor, sekitar 50 orang dari berbagai fraksi. Namun, yang aktif hanya beberapa orang hingga rapat kerap tidak memenuhi kuorum. Apalagi, jika anggota pansus tidak terpilih lagi pada pemilu nanti.
Itu sebabnya banyak pihak khawatir RUU Pengadilan Tipikor tidak bisa diselesaikan tahun ini seperti diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK). Harap diingat, MK pada 19 Desember 2006 memutuskan Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melahirkan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945.
MK kemudian memberikan tenggat tiga tahun kepada pemerintah dan DPR untuk membentuk Pengadilan Tipikor dengan payung hukum Undang-Undang Pengadilan Tipikor, dan bukan masuk Undang-Undang KPK.
Jika dalam waktu tiga tahun Undang-Undang Pengadilan Tipikor belum juga selesai, yang berarti jatuh pada 19 Desember 2009, Pengadilan Tipikor harus dihapus dan seluruh perkara korupsi yang berasal dari KPK disidangkan di pengadilan umum/pengadilan negeri.
Kalau itu terjadi, jelas langkah mundur dalam penegakan hukum bidang pemberantasan korupsi. Itu disebabkan semangat pembentukan KPK dan Pengadilan Tipikor didasarkan kepada asumsi bahwa korupsi adalah kejahatan extraordinary. Karena itu, butuh lembaga dan peradilan khusus.
Harus diingat, Pengadilan Tipikor dibentuk karena banyak catatan buruk pada pengadilan umum dalam upaya memberantas korupsi. Data Indonesia Corruption Watch menyebutkan pada periode 2005-2008, dari total 1.421 terdakwa korupsi yang diseret ke pengadilan umum, lebih dari 600 di antaranya dibebaskan. Untuk 2008 saja, menurut ICW, 277 dari 444 terdakwa kasus korupsi (62,4%) telah divonis bebas.
Fakta itu mempertegas eksistensi Pengadilan Tipikor adalah sebuah harga mati. Belum pernah terjadi koruptor bisa bebas dari jerat hukum bila kasusnya disidangkan di Pengadilan Tipikor. Itu sebabnya DPR dan pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. (Media Indonesia)