
Makassar, 27 November 2008.
Pemerintahan di daerah harus segera berbenah menutup celah korupsi. Survei LSM Transparency International Indonesia (TII) di sepuluh daerah mengungkapkan bahwa tender pengadaan barang dan jasa merupakan sarang terjadinya perbuatan korup tersebut. Sepuluh daerah yang dipilih itu dibagi dua. Yaitu, lima daerah yang berdasar indeks persepsi korupsi (IPK) 2006 mendapatkan nilai tinggi yang terdiri dari Palangkaraya, Wonosobo, Parepare, Tanah Datar, dan Yogyakarta.
Lima sisanya merupakan daerah yang IPK-nya terendah, yakni Cilegon, Denpasar, Gorontalo, Mataram, dan Maumere. Menurut penanggung jawab survey, Franky Simanjuntak, dari beberapa daerah, ternyata terungkap bahwa sektor pengadaan barang dan jasa masih menjadi sarang korupsi.
“Penerapan Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa dilaksanakan setengah hati,” ungkap Franky di Balai Kartini dalam peluncuran hasil survei fenomena korupsi, Rabu, 26 November.
Franky menuturkan, dalam pengadaan, penentuan pemenang proyek dilaksanakan dengan metode arisan. “Bahkan, ada juga yang mengenal dengan uang cendol (uang terima kasih) karena telah dimenangkan dalam proses itu,” ungkapnya.
Penerapan pakta integritas antikorupsi juga tak sesuai yang diharapkan. Memang, sebut Franky, beberapa daerah menyatakan sudah meneken kesepakatan itu. Namun, praktiknya tidak lebih dari penandatanganan dokumen janji tanpa komitmen apa pun.
Meski demikian, survei tersebut melihat bahwa ada perbaikan signifikan di daerah dalam pelayanan publik. Hampir semua daerah yang disurvei sudah menerapkan itu. “Selama ini sistem tersebut diyakini bisa mengurangi pungutan liar,” ungkapnya.
Pelayanan publik di daerah kini tidak lagi satu atap, namun sudah menjadi lebih baik dengan pelayanan satu pintu. “Banyaknya pintu masih memungkinkan petugas layanan melakukan pungli,” ujarnya.
Fakta yang lain, tidak semua komponen daerah mengenal IPK. Misalnya di Wonosobo, masyarakat tidak mengetahui bagaimana penentuan IPK tersebut. Terlebih lagi, Kejari dan dinas pekerjaan umum juga tidak mengetahui survei tersebut. “Pemerintah daerah sebenarnya mengetahui, tetapi mereka tidak menyosialisasikan secara luas,” ucap Franky.
Sementara itu, Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dony Murdiansyah menyambut baik survei TII tersebut. Penelitian itu memantau perkembangan usaha pemberantasan korupsi.
Menurut dia, publik memang masih lekat dengan korupsi. “Hasil penelitian kami pada 2007, 60 persen pengguna layanan publik masih permisif dengan pemberian uang tambahan kepada petugas layanan,” ujarnya. Yang mengejutkan, inisiatif pemberian uang tambahan itu justru datang dari para pelayan publik. (Fajar Online - git/kim)





