Sabtu, September 27, 2008

KAREBOSI - REVITALISASI - KOMERSIL ATAU DIJUAL !?


Direvitalisasi, Dikomersilkan atau Dijual ?

DUA kerajaan kembar yang di zaman bahari menguasai beberapa daerah di wilayah timur Nusantara, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadikan Karebosi – sebuah lapangan rumput di tengah-tengah kota Makassar sebagai lokasi berbagai upacara kerajaan, perlombaan dan pertandingan. Dari sudut hukum agraria, sejak berakhirnya era kerajaan dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Karebosi, lapangan seluas 9 ha itu adalah tanah negara.

Tahun 1985, pihak agraria, sekarang Badan Pertanahan Nasional (BPN) menetapkan suatu “fatwa” bahwa Karebosi bersatus “tanah pengelolaan” Pemerintah Kota Makassar. Status itu menurut Andi Asmar SH MH, seorang ahli hukum agraria yang kini menjabat Kepala BPN Kota Parepare, pihak BPN sama sekali tidak memberi hak tanah pada pemerintah kota. Bukan hak milik Pemkot Makassar, bukan hak guna bangunan, bukan hak pakai, bukan pula hak guna usaha dan hak-hak atas tanah lainnya. Karebosi tetap milik umum, tanah publik dan atau fasilitas sosial yang dimiliki warga kota Makassar.

Saya – penulis, ketika bersekolah di SMP Muhammadyah Makassar sering diboyong oleh guru pendidikan jasmani untuk bermain sepak bola di sana. Tidak ada pendaftaran, tidak ada pembayaran. Pokoknya, langsung saja beraktivitas di lapangan itu.

Demikian pula ketika saya bersekolah di SMA Negeri I Makassar tahun 1960 - 1963, kami lebih sering lagi berolahraga di Karebosi. Ya, lapangan itu betul-betul milik umum, milik seluruh warga kota Makassar.

Dari Losari ke Karebosi

Menurut Walikota Makassar, H. Ilham Arief Siradjuddin, Ikon kota Makassar ada dua, yaitu Pantai Losari dan Lapangan Karebosi. Sang Walikota setelah “sukses” melakukan revitalisasi atas Pantai Losari tahun lalu, di penghujung tahun 2007 ini ia mencoba melakukan revitalisasi atas lapangan Karebosi :

Lapangan seluas 9 ha itu akan dinaikkan permukaannya antara 2 – 4 meter. Tentu saja ditanami rumput baru. Di dalamnya antara lain akan dibangun tiga lapangan sepakbola dan lapangan futsal rumput, lapangan dan panggung upacara, lapangan softball, area senam, area skate board, rollerskate dan sepeda, Heli Pad (bisa didarati jenis Puma) dan lain-lain. Sementara sarana-sarana olahraga yang ada di tepi lapangan tetap dipertahankan dan diperbaiki, seperti beberapa lapangan basket, lapangan volley, dan lapangan tennis.

Di lapangan inilah PSM bermarkas ketika merebut Kejuaraan Nasional PSSI tahun 1957 dan 1959. Ya, di lapangan inilah lahir pemain-pemain sepakbola kondang seperti Ramang, Moulwi Saelan, Suwardi Arland, M. Basri, Ronny Pattinasarany, Syamsuddin Umar dan lain-lain.

Karebosi hendak direnovasi agar tetap bisa digunakan dengan perasaan nyaman untuk acara-acara keagamaan, seperti salat Idul Fithri/Idul Adha, lokasi kampanye, pawai, defile, serta tentu saja untuk kegiatan olah raga dan sebagainya.

Sampai di sini kondisinya oke-oke saja. Bahkan walikota pantas diacungi jempol ! Tapi, kemudian hadir rencana tambahan, akan ada bangunan komersil di bawah tanah – maka bermunculanlah tantangan dan tanggapan. Seorang arsitek kondang, Bachder Djohan yang saat ini menjadi ketua umum induk organisasi arsitek se-Indonesia (INKINDO) menegaskan, pada rencana awal tidak ada bangunan bawah tanah. “Saya ini yuri dalam lomba disain revitalisasi Karebosi. Dalam disain pemenang sayembara, maupun dalam disain peserta-peserta sayembara lainnya, tidak ada bangunan di bawah tanah,” tegas Bachder.

Dalam sosialisasi kepada masyarakat, Walikota Ilham Arief Siradjuddin antara lain menjelaskan : Dari luas 9 ha Karebosi, hanya 3 ha ruang bawah tanah. Dari 3 ha itu, hanya 1,1 ha untuk bangunan komersil, dan 1,9 ha untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti area parkir, area sirkulasi angkutan kota, mushallah, dan terowongan (tunnel, under pass).

Adapun terowongan ini luasnya 1.317 meter persegi yang menghubungkan bangunan bawah tanah Karebosi itu dengan Makassar Trade Center (MTC), sebuah mall yang juga dimiliki/dikelola oleh PT Tosan Permai Lestari yang berlokasi di seberang selatan Karebosi. Perusahaan inilah selaku pemenang tender yang bekerja sama dengan Pemkot Makassar untuk merevitalisasi Karebosi. Dalam terowongan antara Karebosi (under ground) dengan MTC juga terdapat beberapa bangunan komersil. Total bangunan komersil bawah tanah akan berjumlah lebih 800 kios yang ditawarkan seharga Rp 200 juta per kios.

Dalam Perjanjian Kerja Sama antara PT Tosan Permai Lestari dengan Walikota Makassar yang dibuat tanggal 11 Oktober 2007, antara lain disebutkan bahwa PT Tosan akan memperoleh Hak Guna Bangunan selama 30 tahun. Sementara satuan rumah susun non-hunian atas ruang usaha yang berada di bawah tanah akan berstatus Hak Milik.

Kesepakatan itulah yang membuat “berang” banyak warga kota yang merasa memiliki lapangan Karebosi. Sebab, materi perjanjian kerja sama tersebut sudah melenyapkan posisi Karebosi sebagai milik umum, sebagai sarana publik - walaupun yang dikomersilkan itu adalah bangunan dan ruang di bawah tanah.

Apa lagi dalam perjanjian kerja sama itu ada pasal (3 ayat d) yang memberi peluang kepada PT Tosan Permai Lestari untuk melakukan penjaminan/pengagunan atas areal yang dimaksud. Maka warga menafsirkan, bila kredit yang diterima PT Tosan Permai Lestari menjadi bermasalah, atau malah macet – apakah ini berarti Lapangan Karebosi yang dijaminkan/diagunkan itu akan disita oleh bank ? Wah !

Diza R. Ali dan Makassar Football School

Orang yang pertama menentang revitalisasi Karebosi, adalah Diza Rasyid Ali. Ya, memang mantan Manager Tim Persija Jakarta (1997) tersebut memiliki kepentingan yang tergilas oleh revitalisasi tersebut. Sejak tahun 2000 wanita lajang yang gila bola ini mendirikan Makassar Football School (MFS) yang di kelas anak remaja, telah mengangkat nama Indonesia dalam ajang sepakbola internasional. Gelandang terbaik Indonesia yang juga Kapten Kesebelasan PSM Makassar, Syamsul Bachri Haeruddin adalah salah satu alumnus MFS.

Markas MFS adalah sebuah lapangan sepak bola di tengah Karebosi. Ketika MFS diminta walikota keluar sementara dari Karebosi sampai selesainya pembangunan tiga lapangan sepakbola (sampai April 2008), Diza sempat minta ganti rugi (atau apapun namanya) Rp 1,6 milyar. Tentu saja Walikota menolak.

“Ibu Diza itu ‘kan memakai Karebosi dengan gratis. Sedang, lapangan itu nanti akan lebih baik dan lebih berkualitas untuk dipakai MFS. Jadi, tidak logis menuntut ganti rugi. Cuma penggunaan sarana olahraga di Karebosi nantinya tidak akan dikapling begitu saja oleh MFS, bahkan tidak oleh PSM sekalipun. Tapi, akan diatur secara bergilir kepada konsumen yang membutuhkannya,” jelas walikota.

Diza, putra Rasyid Ali - seorang bankir di Makassar tahun 1960-an - menjelang medio Desember 2007 ini, membubarkan MFS dan dengan lantang berkata : “Saya akan memusatkan perhatian melawan komersialisasi Karebosi !” Adapun sekolah sepakbola akan dipikirkannya kemudian. Sementara Ilham A. Siradjuddin dengan enteng berkata, “Yang mengkomersilkan Karebosi ‘kan selama ini adalah Diza. Dia menjadikan Karebosi sebagai ladangnya.”

Dari kegigihan Diza menentang Ilham, semakin luas arus bawah yang menentang Revitalisasi Karebosi versi Walikota Makassar tersebut. Selain dari kalangan arsitek dan budayawan, juga sudah muncul tantangan dari kalangan pencinta dan pengabdi lingkungan. Pasalnya, Revitalisasi Karebosi belum punya AMDAL, analisa dampak lingkungan. Padahal dalam kontrak kerja sama Pemkot – PT Tusan juga disebut antara lain bahwa AMDAL harus sudah siap/selesai sebelum dimulai pelaksanaan pekerjaan Revitalisasi Karebosi. Bahkan harus selesai sebelum keluarnya Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Kenyataan yang terjadi, IMB sudah keluar dan pekerjaan telah dimulai, namun AMDAL belum keluar – baru diurus ketika timbul tantangan.

Pihak yang menentang Revitalisasi Karebosi menyebut program kerja sama Walikota Makassar dengan Bang Hasan (Pemilik Pt Tosan) tersebut sebagai komersialisasi. Tapi, apabila kita memperhatikan pasal-pasal dalam Perjanjian Kerja Sama Walikota Makassar – PT Tosan bertanggal 11 Oktober 2007 (Nomor 426.23/026/S.Perja/Ekbang dan nomor : 074/TPL/X/2007), maka timbul tanda tanya : Apakah Karebosi direvitalisasi, dikomersilkan atau keduanya (direvitalisasi dan dikomersilkan), atau bahkan telah dijual oleh Walikota Ilham Arief Siradjuddin kepada Bang Hasan, sang Dewa Judi ?

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar pada Senin 10 Desember 2007, secara resmi telah menggugat Pemkota Makassar dan PT Tosan Permai Lestari melalui PN Kelas I Makassar untuk (antara lain) membatalkan perjanjian itu, sebab melihat materinya dan hak yang melekat pada Pemkot, perjanjian itu seharusnya batal demi hukum. LBH memperatasnamakan 1,5 juta warga Kota Makassar, “pemilik sah” lapangan Karebosi.

Ketika Kompas menanyakan kepada walikota apakah perjanjian kerja sama itu tidak pernah dibatalkan, atau tidak pernah direvisi, Walikota Ir H. Ilham Arief Siradjuddin menjawab melalui SMS : Ada adendum kayaknya ! Suatu jawaban yang tidak tegas.

Yang paling menyedihkan dan belum pernah disosialisasikan kepada masyarakat luas, bahkan belum pernah disiarkan oleh media massa, ialah bahwa di atas lapangan Karebosi juga bakal ada bangunan komersil ! Jadi, bukan di bawah tanah saja ! Perjanjian kerja sama itu yang menyebutkan letak bangunan komersil itu ialah di sisi timur lapangan Karebosi, yaitu bangunan-bangunan yang akan menghadap ke ke arah jalan protokol, Jalan Jenderal Sudirman ! LakekomaE pak Walikota?

Fahmy Myala, wartawan, tinggal di Makassar. LakekomaE = bahasa Makassar, artinya Qua Vadis)